Senin, 25 Juli 2011

Nafkah Iddah

Pengertian Nafkah Iddah.
a.   Pengertian iddah.
Menurut Soemiyati, iddah adalah masa menunggu atau tenggang waktu sesudah jatuh thalak dalam waktu mana si suami boleh merujuk istrinya[1]       Sedangkan menurut Al Hamdani, iddah berasal dari kata "al adad' artinya bilangan dan menghitung, yaitu hari yang digunakan bagi seorang perempuan selama ia suci dari haid. Lebih lanjut menurut Al Hamdani, iddah diartikan sebagai hari yang dihitung dan dipergunakan bagi seorang perempuan untuk selamanya suci dari haid. Dalam syara' iddah artinya waktu untuk menunggu dan dilarang kawin setelah seorang perempuan ditinggal mati atau diceraikan oleh suaminya.[2]
Sedangkan Sulaiman Rasjid mendefinisikan iddah dengan memasukkan fungsi yang terdapat di dalamnya, iddah yaitu masa menanti yang diwajibkan atas perempuan yang diceraikan suaminya (cerai hidup atau cerai mati), gunanya supaya diketahui kandungan berisi atau tidak”.[3] Adapun macam-macam Iddah menurut Sulaiman Rasjid adalah  : 1). bagi perempuan yang hamil iddahnya adalah sampai lahir anak yang dikandungnya, baik cerai mati maupun cerai hidup; 2) perempuan yang tidak hamil, adakalanya cerai mati atau cerai hidup.[4]
Masa iddah untuk wanita hamil, dijelaskan oleh Allah swt. dalam al-Qur’an yang berbunyi :
Artinya:     "Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka rnelahirkan kandungan”[5]
Sedangkan untuk cerai mati masa iddahnya 4 bulan 10 hari, dijelaskan dalam firman Allah swt. yang berbunyi :
Artinya:     "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu, dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber­ iddah) 4 bulan 10 hari”.[6]
Jika ditinjau dari ayat di atas timbul perselisihan, karena sifat dari ayat tersebut adalah umum, di mana tidak melakukan pengkhususan apakah istri tersebut dalam keadaan hamil atau tidak. Dalam hal ini timbul pertanyaan, bagi istri yang ditinggal mati dan melahirkan anak sebelum 4 bulan 10 hari, bagaimana masa iddahnya. Dalam hal ini dijelaskan oleh Jumhur, iddahnya habis setelah anaknya lahir, walaupun belum cukup 4 bulan 10 hari. Selanjutnya menurut pendapat lain yang diriwayatkan oleh Ali, iddahnya harus mengambil waktu yang lebih panjang dari pada salah satu di antara kedua iddah itu. Artinya, jika anaknya lahir sebelum 4 bulan 10 hari, iddahnya harus menunggu sampai cukup 4 bulan 10 hari dan apabila telah sampai 4 bulan 10 hari anak belum lahir juga, maka iddahnya harus menunggu sampai anaknya lahir.[7]
Adapun untuk cerai hidup dan perempuan bersangkutan dalam keadaan haid, maka masa iddahnya tiga kali suci. Dijelaskan dalam al-Qur’an yang berbunyi :
Artinya:     "Wanita-wanita yang di thalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali suci".[8]
Adapun jika perempuan yang dicerai tersebut tidak dalam keadaan haid, maka masa iddahnya adalah tiga bulan. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah swt. yang berbunyi :
Artinya:     "Dan mereka telah putus haid, karena usia diantara perempuan-perempuanmu, jika kamu ragu (tentang masa iddahnya), maka iddah mereka adalah tiga bulan dan  begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid”.[9]
Terkait dengan masalah wanita yang tidak haid lagi pada intinya bukan hanya untuk orang tua saja, akan tetapi dapat juga terjadi pada wanita yang belum datang masa haidnya (belum sampai pada masa umur) dan wanita yang karena kelainan tidak pernah mengalami haid. Adapun masa iddahnya tetap sama, yaitu tiga bulan. Pada kondisi tertentu, jika terjadi perceraian sementara belum dilakukan hubungan badan, maka masa iddahnya tidak ada. Hal ini dijelaskan dalam al-Quran yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya:     "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”.[10]
Bagi wanita yang waktu haidnya teratur, maka masa iddah di atas jelas. Akan tetapi, bagi wanita yang haidnya tidak teratur (bagi wanita penderita istihadah), maka hendaknya wanita bersangkutan mengingat atau memperhatikan masa haid dan sucinya pada waktu-waktu sebelumnya. Apabila merasa sudah memenuhi tiga kali suci, maka masa iddahnya telah berakhir.
b.   Pengertian nafkah.
Menurut Soemiyati, nafkah ialah segala kebutuhan istri, yang meliputi makanan. pakaian, tempat tinggal dan lain-lain yang termasuk kebutuhan rumah tangga pada umumnya.[11]

Dari definisi nafkah dan iddah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian dari nafkah iddah adalah segala sesuatu yang diberikan oleh seorang suami kepada istri yang telah diceraikannya untuk memenuhi kebutuhannya, baik itu berupa pakaian, makanan maupun tempat  tinggal.
Nafkah itu sendiri adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan sebagainya. Banyaknya nafkah yang diwajibkan adalah sekedar mencukupi keperluan dan kebutuhan serta mengingat keadaan dan kemampuan orang yang berkewajiban menurut kebiasaan masing-masing tempat. Hal ini ditegaskan dalam al-Quran yang berbunyi :
Artinya:     "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya".[12]
Dengan demikian, pemberian nafkah pada masa iddah tergantung pada kemampuan ekonomi suami dan kebutuhan istri serta tergantung pada budaya setempat. Misal, untuk kebutuhan makan dengan gandum, maka pemberian nafkah dengan menggunakan gandum atau uang yang setara dengan harga gandum tersebut serta berbagai kebutuhan dasar yang terdapat di dalamnya. Waktu pemberian nafkah tersebut adalah selama masa iddah dan jika mantan istri telah lewat masa iddahnya, berarti tanggung jawab suami untuk memberikan nafkah sudah selesai.
Kondisi yang menyebabkan mantan istri mermperoleh nafkah selama masa iddah, apabila dipenuhinya syarat-syarat berikut ini:[13]
a.       Ikatan perkawinan yang dibina sebelumnya harus syah.
b.      Istri taat dan patuh pada suaminya.
c.       Istri memberinya kemudahan dan melayani sepanjang waktu yang diperbolehkan.
d.      Istri tidak menolak untuk menyertai suami ketika dia berpergian kecuali jika istri merasa yakin bahwa perjalanan tersebut aman bagi dirinya dan hartanya.
e.       Apabila kedua pihak dapat saling membantu satu sama lain.
Apabila persyaratan-persyaratan di atas tidak terpenuhi, maka pihak suami tidak berkewajiban memberikan nafkah selama massa iddah. Kewajiban pemberian nafkah pada masa iddah tidak selamanya terjadi, tergantung pada jenis thalak antara suami dan istri bersangkutan. Pada cerai mati sudah jelaslah bahwa kewajiban suami sudah tidak ada, karena yang bersangkutan telah tidak mempunyai daya atau kemampuan lagi.
3.   Dasar dan Tujuan Pemberian Nafkah Pada Masa Iddah.                  
Adapun dasar dan tujuan pemberian nafkah iddah terdapat berbagai pendapat sebagaimana yang ada dalam beberapa mazhab[14], diantaranya yaitu :

a.   Untuk istri yang masih kecil.
Istri yang masih kecil (belum dapat digauli) dan terjadi perceraian, maka menurut mazhab yang ada (Hanafi, Hambali, Syafii) mantan istrinya tidak berhak mendapat nafkah (suami tidak berkewajiban dalam memberikan nafkah), kecuali mazhab Hanafi yang mengadakan klasifikasi lebih lanjut.
- Kecil dalam arti tidak dapat dimanfaatkan, baik untuk melayani suami, maupun bermesraan, dan jika terjadi perceraian suami tidak berkewajiban memberikannya nafkah.
- Kecil, tetapi bisa digauli, maka jika terjadi pereeraian suarninya berkewajiban meberikan nafkah, kecuali terjadi cerai li' an.
- Kecil dalam arti bisa diajak bermesraan, tetapi tidak bisa digauli, maka jika terjadi perceraian suami tidak berkewajiban memberikan nafkah.
b.   Untuk suami yang masih kecil
Dalam hal ini kebalikan dari kondisi di atas, jika terjadi perceraian, maka menurut Hanafi, Syafi'i dan Hambali pemberian nafkah wajib hukumnya bagi suami tersebut. Sedangkan mazhab maliki, berpendapat tidak berkewajiban bagi suami untuk memberikan nafkah.
c.   Jika istri sakit, mandul atau mengalami kelainan pada alat seksualnya.
Pada kondisi di atas, jika terjadi perceraian menurut mazhab yang ada (Hanafi, Syafii, Hambali) kewajiban suami untuk memberikan nafkah tidak gugur, kecuali mazhab Maliki menyatakan gugur.
d.  Apabila istri murtad.
  Istri yang semula muslimah, kemudian menjadi murtad dan terjadi perceraian, maka tidak ada kewajiban suami untuk memberikan nafkah.
e.  Istri yang Nusyuz.
  Istri yang nusyuz atau durhaka, dan jika terjadi perceraian, maka suami tidak berkewajiban dalam meberikan nafkah.
f.    Talak Li’an.
  Talak li’an atau bersumpah untuk tidak akan kawin lagi, maka pihak suami tidak berkewajiban dalam memberikan nafkah.[15]
    Adanya nafkah bagi mantan istri yang telah diceraikan selama masih masa iddahnya memberikan peluang yang cukup tinggi untuk dipersatukannya kembali ikatan yang telah putus tersebut. Hal ini terjadi karena dengan adanya nafkah tersebut berarti masih tersisa rasa kasih sayang diantaranya. Di samping itu juga pemberian nafkah akan memungkinkan kedua belah pihak untuk bertemu dan hal tersebut akan memberikan peluang untuk terjadinya rujuk kembali. Pernyataan di atas dapat ditegaskan dengan menggunakan dasar bahwa pada perceraian li' an yang tidak memungkinkan terjadinya rujuk kembali pihak suami tidak diwajibkan untuk memberikan nafkah.
Apabila ditinjau dari sudut pandang yang lain yaitu dari segi manusiawinya pemberian nafkah harus diberikan selama masa iddah karena pada masa iddah tersebut pihak perempuan masih dalam keadaan terombang-ambing, baik secara lahiriah atau pun secara batiniahnya. Oleh karena jika si perempuan yang diceraikan itu kembali pada orang tua (jika orang tua masih hidup) tentu merupakan beban bagi dirinya, terlebih jika kedua orang tuannya telah tiada maka sangat sulit sekali bagi wanita bersangkutan.
4.   Bentuk-Bentuk Nafkah Pada Masa Iddah.               
Bentuk nafkah yang diberikan oleh suami selama masa iddah adalah makanan, minuman, tempat tinggal, uang atau lainnya. Dalam hal ini perlu ditegaskan bentuk pemberian nafkah pada istri adalah kebutuhan material, bukan kebutuhan bathiniah (termasuk sex dan lainnya). Bentuk dan besarnya pemberian nafkah tersebut pada dasarnya tidak ditegaskan secara jelas, akan tetapi hanya secara umum. Dalam pemberian bentuk dan besarnya nafkah lebih ditentukan atas dasar kemampuan pihak suami. Hal ini ditegaskan dalam al-Quran yang berbunyi:
Artinya:     "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya".[16]
     

Dengan demikian mengenai besarnya tidak ditentukan, akan tetapi tergantung pada kemampuan suami. Adapun jika suami mampu maka nafkah yang diberikan adalah nafkah tempat tinggal, makanan, minuman dan pakaian serta berbagai kebutuhan wanita lainnya yang sifatnya mendasar. Hal ini di tegaskan dalam hadist Rasulullah saw. sebagai berikut:
ﻋﻦﻋﺎﻋﺸﺔﺭﺿﻰﺍﷲﻋﻨﻬﻣﺎ۰۰۰ﻓﻘﺎﻝﺭﺳﻮﻝﺍﷲﺻﻠﻢﺧﺬﻯﻣﻦﻣﺎﻠﻪﻳﺎﺍﻠﻣﻌﺮ ﻑﻣﺎﻳﻜﻔﻳﻚﻭﻣﺎﻳﻜﻔﻰﺑﻨﻳﻚ﴿ﻣﺘﻔﻖﻋﻠﻳﻪ﴾
Artinya:     "Ambillah dengan patut secukupnya, baik bagi dirimu maupun anakmu".[17]
Bagi suami yang mampu hendaknya memberikan nafkah yang lengkap bagi istrinya, termasuk makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan wanita lainnya. Adapun mutu dari kebutuhan di atas hendaknya sesuai dengan mutu atau kualitas yang dinikmati oleh suami pada saat tersebut. Apabila makanan empat sehat lima sempurna yang dimakan oleh suami setiap hari, hendaknya istri juga diberikan biaya untuk makan seharga makanan tersebut. Sedangkan bagi suami yang tidak mampu dan dalam hidup setiap harinya berada pada taraf pendapatan minimum untuk hidup, maka berikanlah pada istri sesuai dengan pendapatannya, yaitu biaya sebesar biaya minimum untuk hidupnya. Adapun dalam perceraian terkadang istri yang membawa anak-anak, maka biaya hidup yang diberikan adalah sebesar biaya hidup untuk istri dan anak-anaknya pula.


[1]Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) (Yogyakarta: Liberty, 1986), h. 356
[2] Al-Hamdani, . Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam. Pustaka Armani, Jakarta 1989, h. 299
.
[3] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Attahiriyah, Jakarta, 1976), h. 414
[4] Ibid, 415
[5] QS. Ath-Thalaaq (65): 4
[6] QS. Al-Baqarah  (2):234.
[7] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam…, h. 416.
[8] QS. Al-Baqarah (2): 228
[9] QS. Ath-Thalaaq (65): 4.
[10] QS. Al-Ahzab (33) : 49
[11] Soemiyati, Hukum Perkawinan..., h. 89.
[12] QS. Ath-Thalaaq  (65):7.
[13] Al Hamdani, Risalah Nikah..., h. 303
[14] Muhammad jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Basri Press, Jakarta, 1994), h. 401-402.
[15] Ibid., h. 403-404
[16] QS. Ath-Thalaaq (56) :  7
[17] Anshori,  terjemah Tafsir Al-Maraghi,  (Toha Putra, Semarang, 1995), h. 464.

Komponen Perundang-undangan

1.  Komponen Sebuah Peraturan perundang-undangan atau Putusan
    Hakim dapat di Implementasikan.
Salah satu aspek penting dalam kehidupan sosial, hukum selalu diharapkan dapat terlaksana dengan baik pada suatu masyarakat tertentu, sehingga keadaan keteraturan masyarakat dapat terus dijaga. Tanpa adanya suatu hukum yang secara fungsional dapat mengatur hubungan antar masyarakat, mustahil ide yang menjadi cita-cita bersama dapat terwujud.[1] Lawrence M. Friedman mengungkapkan, ada 3 (tiga) faktor atau komponen agar sebuah hukum baik itu berupa peraturan perundang-undangan maupun putusan hakim dapat di implemantasikan dengan baik di masyarakat, yaitu : 1). substansi hukum (legal substance) yaitu peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melakukan perbuatan-perbuatan hukum dan hubungan-hubungan hukum. Aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu dan produk yang dihasilkan orang yang berada dalam sistem hukum itu mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun, living law (hukum yang hidup) dan bukan hanya aturan yang ada dalam law in books.; 2). struktur hukum (legal structur) yaitu merupakan  pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan formalnya. Struktur ini memperlihatkan bagaimana pengadilan, pembuatan hukum dan lain-lain. Badan hukum serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan. Ruang lingkup struktur adalah aparat penegak hukum/UU dilapangan.;  dan ke 3) budaya hukum (legal culture) yaitu merupakan sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai pemikiran serta harapannya. Budaya hukum sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan.[2]


[1] Heru Sunardi, “Implementasi Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Studi tentang Penerapan Perjanjian Lisensi Merek Guna Memperoleh Hak Penggunaan Merek Terdaftar oleh Pengusaha Sepatu dan Konveksi di Kelurahan Penggilingan Kecamatan Cakung Kota Jakarta Timur)” (Tesis, Fakultas Hukum Unibraw, Malang), h.15.
[2] Ibid., h. 16-17.

Faktot Yang Mempengaruhi Keaktifan Belajar

a.   Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keaktifan Belajar Siswa
  Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran dapat merangsang dan mengembangkan bakat yang dimilikinya,siswa juga dapat berlatih untuk berpikir kritis.
Gagne dan Brings ( dalam Martinis,2007:84) " Faktor- faktor yang dapat menumbuhkan timbulnya keaktifan siswa dalam proses pembelajaran"[1], yaitu:
a)   Memberikan motivasi atau menarik perhatian siswa, sehingga mereka berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran
b)   Menjelaskan tujuan instruksional (kemampuan dasar kepada siswa).
c)   Memberikan stimulus (masalah, topik, dan konsep yang akan dipelajari).
d)  Memberi petunjuk siswa  cara memepelajarinya
e)   Memunculkan aktifitas, partisifasi siswa dalam kegiatan pembelajaran
f)    Memberi umpan balik (feed back)
g)   Melakukan tagihan- tagihan terhadap siswa berupa tes, sehingga kemampuan siswa selalu terpantau dan terukur
h)   Menyimpulkan setiap materi yang akan disampaikan diakhir pembelajaran.   

b.   Prinsip- prinsip Keaktifan Belajar Siswa
Dalam pelaksanaan mengajar hendaknya diperhatikan beberapa prinsip belajar sehingga pada waktu proses belajar-mengajar,siswa melakukan kegiatan belajar secara optimal.
Ada beberapa prinsip belajar yang dapat menunjang timbulnya keaktifan belajar siswa, yakni stimulus belajar, perhatian dan motivasi, respons yang dipelajari, penguatan dan umpan balik, serta pemakaian dan pemindahan.


                [1]Abussalam, “Fdf”, Dalam  http// Google. net/artikel/ abussalam01, diambil tanggal 17 Pebruari 2011,pukul 11.09 WITA.

Keaktifan Belajar Siswa

1.   Peningkatan Keaktifan Belajar Siswa
a.    Pengertian Keaktifan Belajar
Aktif artinya adalah tidak terjadi dengan sendiri seperti karena proses kematangan (misalnya, bayi yang bisa merangkak setelah bisa duduk). Dengan perkataan lain, perubahan tersebut karena usaha guru itu sendiri.[1]
Keaktifan merupakan “kata dengan kata dasar aktif yang berarti giat( bekerja, berusaha). Adapun keaktifan adalah “kegiatan kesibukan.” Dalam penelitian ini keaktifan diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan dengan giat, rajin dan dengan frekuaensi pengerjaan yang tinggi.[2]
               Proses pendidikan berarti di dalamnya menyangkut kegiatan belajar mengajar dengan segala aspek maupun faktor yang mempengaruhinya. Pada hakekatnya, untuk menunjang tercapainya tujuan pengajaran perlu adanya kegiatan belajar mengajar yang melibatkan siswa, guru, materi pelajaran, metode pengajaran, kurikulum dan media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa serta didukung oleh lingkungan belajar mengajar yang kondusif. Seorang siswa dapat belajar secara efisien jika memiliki keaktifan dalam belajar dan didukung oleh sarana dan prasarana. Apabila ditinjau dari segi kekuatan dan kemantapannya, maka keaktifan yang  timbul dari dalam diri seorang siswa akan lebih stabil dan mantap (internal) dibandingkan dengan keaktifan yang tumbuh karena pengaruh lingkungan (eksternal). Hal ini dikarenakan dengan berubahnya lingkungan yang mempengaruhi keaktifan siswa dalam proses pembelajaran, sehingga keaktifan belajar seseorang itu juga akan mengalami perubahan.
Disamping keaktifan siswa dalam proses pembelajaran untuk mencapai prestasi, media pembelajaran guru juga dapat mempengaruhi prestasi siswa. Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran dapat dipengaruhi oleh media pembelajaran yang digunakan guru. Penggunaan  media pembelajaran yang tidak sesuai dengan keinginan siswa dapat mengakibatkan siswa kurang tertarik untuk belajar, sehingga siswa tersebut tidak dapat aktif dalam belajar.
Sebagaimana diketahui Cara Belajar Siswa Belajar Aktif (CBSA) merupakan istilah yang bermakna  sama dengan Student Aktif Learning (SAL). CBSA  bukan disiplin ilmu atau dalam bahasa popular bukan “ teori “. Melainkan merupakan teknik, cara, atau dengan kata lain disebut”teknologi”.[3] 
Adapun tempat permasalahanya hanya terletak pada kadar atau bobot keaktifan belajar siswa. Ada keaktifan belajar kategori rendah, sedang, dan adapula keaktifan belajar kategori tinggi. Hakikat CBSA pada dasarnya adalah cara atau usahaa mempertinggi atau mengoptimalkan kegiatan belajar siswa dalam proses pengajaran.
            Terkait dengan belajar sebagaimana yang dikemukakan oleh Kimble Dan Garmezi bahwa "belajar adalah perubahan tingkah laku yang relative permanen,terjadi sebagai hasil dari pengalaman."[4]
Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah; ini berarti bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai. Perbuatan belajar terarah kepada perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari.
Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku; perubahan yang diperoleh seseorang setelah melalui suatu proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Jika seseorang belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap, keterampilan, pngetahuan, dan sebagainya.[5]
Para ahli pendidikan Islam mencoba memformulasikan pengertian pendidikan Islam. Diantara  batasan yang sangat variatif tersebut adalah:[6]
1)    Al-Syaibaniy; mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses  mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan profesi.
2)    Muhammad  Fadhil al-Jamaly, mendefinisikan
Pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik  hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia.
3)        Ahmad  D.Marimba; mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani serta menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insani kamil).
4)      Ahmad Tafsir; mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.
Pendidikan Islam, secara sederhana dapat diartikan sebagai “proses bimbingan”, pembelajaran dan atau pelatihan terhadap manusia, (anak, generasi muda) agar nantinya menjadi orang Islam,yang berkehidupan serta mampu melaksanakan peranan dan tugas-tugas hidup sebagai “muslim”, yang diindonesiakan menjadi orang Islam. Jadi pendidikan Islam, dengan singkat dikatakan “proses pembimbingan, atau pelatihan agar manusia (anak, generasi muda) menjadi orang muslim atau orang Islam.”[7]     


                [1] Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta.: Raja Grapindo Persada, 2005), h. 84.
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Edisi Kedua, Balai Pustaka, 1995), h. 19.
                    [3]Nana Sudjana, Cara Belajar Siswa Aktif Dalam Proses Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru Algenso, 1989), h. 5.
          [4] Ibid., h. 20
          [5] Salmeto, Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2003),   hal.  2-4.

        [6]Al-Rasyidin, Syamsul Nizar, Filsapat Pendidikan Islam (Jakarta: Penerbit Ciputat, 2005, h.  31-32.
   [7] Tim Dosen IAIN Sunan Ampel- Malang Dasar-dasar Kependidikan Islam (Surabaya: Karya Abditama, 1996),  h.  6.