Senin, 25 Juli 2011

Franchise

Kata franchise berasal dari bahasa Prancis kuno yang berarti hak istimewa atau kebebasan.[1] Pada saat itu penguasa lokal memberikan hak istimewa kepada seseorang untuk mengelola pasar atau mengoperasikan feri di daerah kekuasaannya. Konsep ini kemudian diadopsi raja raja di Eropa untuk memberikan hak istimewa kepada seseorang untuk mengelola berbagai aktivitas komersial.
Ada yang menyebutkan, konsep ini sebenarnya sudah berkembang sejak zaman Romawi. Yang lain menyebutkan, konsep itu sudah diperkenalkan jauh sebelumnya. Lloyd Tarbutton dalam bukunya Franchising-The How To Book menyebutkan, konsep jejaring toko sebagai cikal bakal sistem franchise sudah ada sejak tahun 200 SM di China.
Saat itu pengusaha lokal negeri itu bernama Lo Kass mengoperasikan beberapa toko. Tarbuton bahkan memperkirakan konsep franchising itu sudah ada lebih awal lagi ketika penguasa di negara tirai bambu tersebut membagi bagi trayek angkutan bagi penarik rickshaw (kereta yang ditarik manusia).
Berabad abad kemudian konsep franchise diadopsi para pengusaha terutama di Eropa yang melahirkan istilah franchise. Di Jerman sekitar tahun 1840-an sudah banyak pengusaha bir memberikan hak untuk menjual bir produksinya kepada kedai kedai minuman. 
Di Amerika Serikat, The Singer Sewing Machine Company pada tahun 1851 mulai memberikan hak untuk mendistribusikan mesin jahit produksinya kepada para distributor. Bahkan ada yang menyebutkan apa yang dilakukan Belanda dengan mendirikan VOC (verinigde Oost indische companie) di Indonesia pada tahun 1602 juga dapat disebut sebagai cikal bakal franchise.
Namun dari perjalanan sejarah itu para ahli sepakat sistem franchise modern dimulai sejak Singer memberikan hak distribusi kepada mitranya. Ada beberapa alasan kenapa era Singer sebagai titik awal. Pertama karena Singer sudah menggunakan kontrak tertulis yang rapih. Kedua, karena Singer bisa hidup sampai sekarang yang membuktikan bahkan sistem ini bisa melangengkan perusahaan, sedangkan perusahaan yang melakukan pola mirip Singer sebelumnya sudah tidak ada lagi.[2]
Sistem ini dianggap obat mujarab bagi pengusaha pemula yang nihil pengalaman agar bisa sukses. Ibarat menempuh perjalanan, franchise adalah jalan pintas yang meniadakan trial dan error yang umumnya memakan waktu lama dan penuh risiko.
Di Amerika Serikat, sistem ini dianggap memiliki tingkat kesuksesan lebih dari 90%. Bahkan berdasarkan hasil penelitian International Franchise Association (IFA) hanya 3 – 11 % franchisee (pihak yang membeli hak franchise) yang mengalami masalah dengan penjualannya. Jadi, jika kita membeli usaha yang sudah di franchisekan punya peluang untuk berhasil sampai 90%. Bandingkan dengan berusaha sendiri yang tingkat kegagalannya sampai 65%.[3]
Istilah franchise sendiri di Indonesia mulai banyak dikenal pada dekade 1990-an. Awalnya ketika Lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) International Labor Organization (ILO) pada tahun 1991 menyarankan pada pemerintah Indonesia agar mengembangkan sistem franchise untuk meningkatkan lapangan kerja.
Setelah itu dibentuk Franchise Resource Center (FRC) yang merupakan wadah yang menangani pemberdayaan usaha usaha menjadi franchise, memasyarakatkan dan mensosialisasikan sistem itu serta mendorong pertumbuhan franchise lokal. Lembaga ini berada di bawah Departemen Perdagangan.
          Agar lebih memasyarakat, istilah franchise pun diterjemahkan menjadi waralaba. Kata ini digagas oleh Lembaga Pendidikan Dan Pengembangan Manajemen (LPPM) dan diambil dari kata “wara” yang artinya istimewa dan “laba”  yang artinya untung.  Jadi dapat ditermahkan menjadi keuntungan yang istimewa.
          Sedangkan untuk turunannya, franchisor sebagai orang atau lembaga yang memberikan hak franchise diterjemahkan sebagai pewaralaba dan yang menerima hak franchise atau istilahnya franchisee dipadankan sebagai terwaralaba (penerima waralaba).
          Beberapa tahun kemudian, pemerintah mengakomodasi franchise atau waralaba ini dalam tatanan hukum yang lebih kuat dengan diterbitkannya peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 16 tahun 1997 tentang waralaba. Dalam peraturan ini, tercantum bahwa waralaba adalah perikatan di mana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa.
          Sedangkan Asosiasi Franchise Internasional mendefinisikan franchise atau waralaba sebagai suatu hubungan kontraktual antara franchisor dan franchisee di mana franchisor menawarkan dan wajib memelihara kepentingan yang terus menerus pada usaha franchisee dalam bidang bidang pengetahuan, pelatihan, dan franchisee beroperasi di bawah merek /nama dagang yang sama, format dan prosedur dimiliki atau dikendalikan oleh franchisor, dalam mana franchisee telah mengadakan suatu investasi dalam usaha tersebut dari sumber dananya sendiri.
          Dari definisi diatas dapat diambil ciri khas bisnis / usaha yang dapat dikatakan franchise, yaitu :
a.    Adanya perikatan kesepakatan kontraktual antara dua pihak.(kontrak)
b.    Adanya hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha atau merek / nama dagang yang dimiliki satu pihak lainnya (ciri khas).
c.    Adanya imbalan yang diberikan pihak pengguna pada pihak pihak pemilik hak kekayaan intelektual, penemuan, ciri khas usaha, atau merek / nama dagang (fee).
d.   Adanya pemeliharaan kepentingan terus menerus yang dilakukan pihak pertama dalam bidang bidang pengetahuan dan pelatihan (bantuan berkelanjutan).
e.    Adanya format atau prosedur yang dimiliki dan dikendalikan satu pihak (konsep bisnis).
f.     Adanya dana investasi yang dikeluarkan pihak pengguna (investasi / modal).[4]


[1] Deden Setiawan, Franchise Guide – Fast Food, ( Jakarta : PT. Dian Rakyat, 2006) hal.2.
[2] Ibid, Hal.3
[3] Ibid, Hal.3
[4] Ibid, hal. 9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar