Senin, 25 Juli 2011

Nafkah Iddah

Pengertian Nafkah Iddah.
a.   Pengertian iddah.
Menurut Soemiyati, iddah adalah masa menunggu atau tenggang waktu sesudah jatuh thalak dalam waktu mana si suami boleh merujuk istrinya[1]       Sedangkan menurut Al Hamdani, iddah berasal dari kata "al adad' artinya bilangan dan menghitung, yaitu hari yang digunakan bagi seorang perempuan selama ia suci dari haid. Lebih lanjut menurut Al Hamdani, iddah diartikan sebagai hari yang dihitung dan dipergunakan bagi seorang perempuan untuk selamanya suci dari haid. Dalam syara' iddah artinya waktu untuk menunggu dan dilarang kawin setelah seorang perempuan ditinggal mati atau diceraikan oleh suaminya.[2]
Sedangkan Sulaiman Rasjid mendefinisikan iddah dengan memasukkan fungsi yang terdapat di dalamnya, iddah yaitu masa menanti yang diwajibkan atas perempuan yang diceraikan suaminya (cerai hidup atau cerai mati), gunanya supaya diketahui kandungan berisi atau tidak”.[3] Adapun macam-macam Iddah menurut Sulaiman Rasjid adalah  : 1). bagi perempuan yang hamil iddahnya adalah sampai lahir anak yang dikandungnya, baik cerai mati maupun cerai hidup; 2) perempuan yang tidak hamil, adakalanya cerai mati atau cerai hidup.[4]
Masa iddah untuk wanita hamil, dijelaskan oleh Allah swt. dalam al-Qur’an yang berbunyi :
Artinya:     "Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka rnelahirkan kandungan”[5]
Sedangkan untuk cerai mati masa iddahnya 4 bulan 10 hari, dijelaskan dalam firman Allah swt. yang berbunyi :
Artinya:     "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu, dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber­ iddah) 4 bulan 10 hari”.[6]
Jika ditinjau dari ayat di atas timbul perselisihan, karena sifat dari ayat tersebut adalah umum, di mana tidak melakukan pengkhususan apakah istri tersebut dalam keadaan hamil atau tidak. Dalam hal ini timbul pertanyaan, bagi istri yang ditinggal mati dan melahirkan anak sebelum 4 bulan 10 hari, bagaimana masa iddahnya. Dalam hal ini dijelaskan oleh Jumhur, iddahnya habis setelah anaknya lahir, walaupun belum cukup 4 bulan 10 hari. Selanjutnya menurut pendapat lain yang diriwayatkan oleh Ali, iddahnya harus mengambil waktu yang lebih panjang dari pada salah satu di antara kedua iddah itu. Artinya, jika anaknya lahir sebelum 4 bulan 10 hari, iddahnya harus menunggu sampai cukup 4 bulan 10 hari dan apabila telah sampai 4 bulan 10 hari anak belum lahir juga, maka iddahnya harus menunggu sampai anaknya lahir.[7]
Adapun untuk cerai hidup dan perempuan bersangkutan dalam keadaan haid, maka masa iddahnya tiga kali suci. Dijelaskan dalam al-Qur’an yang berbunyi :
Artinya:     "Wanita-wanita yang di thalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali suci".[8]
Adapun jika perempuan yang dicerai tersebut tidak dalam keadaan haid, maka masa iddahnya adalah tiga bulan. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah swt. yang berbunyi :
Artinya:     "Dan mereka telah putus haid, karena usia diantara perempuan-perempuanmu, jika kamu ragu (tentang masa iddahnya), maka iddah mereka adalah tiga bulan dan  begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid”.[9]
Terkait dengan masalah wanita yang tidak haid lagi pada intinya bukan hanya untuk orang tua saja, akan tetapi dapat juga terjadi pada wanita yang belum datang masa haidnya (belum sampai pada masa umur) dan wanita yang karena kelainan tidak pernah mengalami haid. Adapun masa iddahnya tetap sama, yaitu tiga bulan. Pada kondisi tertentu, jika terjadi perceraian sementara belum dilakukan hubungan badan, maka masa iddahnya tidak ada. Hal ini dijelaskan dalam al-Quran yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya:     "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”.[10]
Bagi wanita yang waktu haidnya teratur, maka masa iddah di atas jelas. Akan tetapi, bagi wanita yang haidnya tidak teratur (bagi wanita penderita istihadah), maka hendaknya wanita bersangkutan mengingat atau memperhatikan masa haid dan sucinya pada waktu-waktu sebelumnya. Apabila merasa sudah memenuhi tiga kali suci, maka masa iddahnya telah berakhir.
b.   Pengertian nafkah.
Menurut Soemiyati, nafkah ialah segala kebutuhan istri, yang meliputi makanan. pakaian, tempat tinggal dan lain-lain yang termasuk kebutuhan rumah tangga pada umumnya.[11]

Dari definisi nafkah dan iddah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian dari nafkah iddah adalah segala sesuatu yang diberikan oleh seorang suami kepada istri yang telah diceraikannya untuk memenuhi kebutuhannya, baik itu berupa pakaian, makanan maupun tempat  tinggal.
Nafkah itu sendiri adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan sebagainya. Banyaknya nafkah yang diwajibkan adalah sekedar mencukupi keperluan dan kebutuhan serta mengingat keadaan dan kemampuan orang yang berkewajiban menurut kebiasaan masing-masing tempat. Hal ini ditegaskan dalam al-Quran yang berbunyi :
Artinya:     "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya".[12]
Dengan demikian, pemberian nafkah pada masa iddah tergantung pada kemampuan ekonomi suami dan kebutuhan istri serta tergantung pada budaya setempat. Misal, untuk kebutuhan makan dengan gandum, maka pemberian nafkah dengan menggunakan gandum atau uang yang setara dengan harga gandum tersebut serta berbagai kebutuhan dasar yang terdapat di dalamnya. Waktu pemberian nafkah tersebut adalah selama masa iddah dan jika mantan istri telah lewat masa iddahnya, berarti tanggung jawab suami untuk memberikan nafkah sudah selesai.
Kondisi yang menyebabkan mantan istri mermperoleh nafkah selama masa iddah, apabila dipenuhinya syarat-syarat berikut ini:[13]
a.       Ikatan perkawinan yang dibina sebelumnya harus syah.
b.      Istri taat dan patuh pada suaminya.
c.       Istri memberinya kemudahan dan melayani sepanjang waktu yang diperbolehkan.
d.      Istri tidak menolak untuk menyertai suami ketika dia berpergian kecuali jika istri merasa yakin bahwa perjalanan tersebut aman bagi dirinya dan hartanya.
e.       Apabila kedua pihak dapat saling membantu satu sama lain.
Apabila persyaratan-persyaratan di atas tidak terpenuhi, maka pihak suami tidak berkewajiban memberikan nafkah selama massa iddah. Kewajiban pemberian nafkah pada masa iddah tidak selamanya terjadi, tergantung pada jenis thalak antara suami dan istri bersangkutan. Pada cerai mati sudah jelaslah bahwa kewajiban suami sudah tidak ada, karena yang bersangkutan telah tidak mempunyai daya atau kemampuan lagi.
3.   Dasar dan Tujuan Pemberian Nafkah Pada Masa Iddah.                  
Adapun dasar dan tujuan pemberian nafkah iddah terdapat berbagai pendapat sebagaimana yang ada dalam beberapa mazhab[14], diantaranya yaitu :

a.   Untuk istri yang masih kecil.
Istri yang masih kecil (belum dapat digauli) dan terjadi perceraian, maka menurut mazhab yang ada (Hanafi, Hambali, Syafii) mantan istrinya tidak berhak mendapat nafkah (suami tidak berkewajiban dalam memberikan nafkah), kecuali mazhab Hanafi yang mengadakan klasifikasi lebih lanjut.
- Kecil dalam arti tidak dapat dimanfaatkan, baik untuk melayani suami, maupun bermesraan, dan jika terjadi perceraian suami tidak berkewajiban memberikannya nafkah.
- Kecil, tetapi bisa digauli, maka jika terjadi pereeraian suarninya berkewajiban meberikan nafkah, kecuali terjadi cerai li' an.
- Kecil dalam arti bisa diajak bermesraan, tetapi tidak bisa digauli, maka jika terjadi perceraian suami tidak berkewajiban memberikan nafkah.
b.   Untuk suami yang masih kecil
Dalam hal ini kebalikan dari kondisi di atas, jika terjadi perceraian, maka menurut Hanafi, Syafi'i dan Hambali pemberian nafkah wajib hukumnya bagi suami tersebut. Sedangkan mazhab maliki, berpendapat tidak berkewajiban bagi suami untuk memberikan nafkah.
c.   Jika istri sakit, mandul atau mengalami kelainan pada alat seksualnya.
Pada kondisi di atas, jika terjadi perceraian menurut mazhab yang ada (Hanafi, Syafii, Hambali) kewajiban suami untuk memberikan nafkah tidak gugur, kecuali mazhab Maliki menyatakan gugur.
d.  Apabila istri murtad.
  Istri yang semula muslimah, kemudian menjadi murtad dan terjadi perceraian, maka tidak ada kewajiban suami untuk memberikan nafkah.
e.  Istri yang Nusyuz.
  Istri yang nusyuz atau durhaka, dan jika terjadi perceraian, maka suami tidak berkewajiban dalam meberikan nafkah.
f.    Talak Li’an.
  Talak li’an atau bersumpah untuk tidak akan kawin lagi, maka pihak suami tidak berkewajiban dalam memberikan nafkah.[15]
    Adanya nafkah bagi mantan istri yang telah diceraikan selama masih masa iddahnya memberikan peluang yang cukup tinggi untuk dipersatukannya kembali ikatan yang telah putus tersebut. Hal ini terjadi karena dengan adanya nafkah tersebut berarti masih tersisa rasa kasih sayang diantaranya. Di samping itu juga pemberian nafkah akan memungkinkan kedua belah pihak untuk bertemu dan hal tersebut akan memberikan peluang untuk terjadinya rujuk kembali. Pernyataan di atas dapat ditegaskan dengan menggunakan dasar bahwa pada perceraian li' an yang tidak memungkinkan terjadinya rujuk kembali pihak suami tidak diwajibkan untuk memberikan nafkah.
Apabila ditinjau dari sudut pandang yang lain yaitu dari segi manusiawinya pemberian nafkah harus diberikan selama masa iddah karena pada masa iddah tersebut pihak perempuan masih dalam keadaan terombang-ambing, baik secara lahiriah atau pun secara batiniahnya. Oleh karena jika si perempuan yang diceraikan itu kembali pada orang tua (jika orang tua masih hidup) tentu merupakan beban bagi dirinya, terlebih jika kedua orang tuannya telah tiada maka sangat sulit sekali bagi wanita bersangkutan.
4.   Bentuk-Bentuk Nafkah Pada Masa Iddah.               
Bentuk nafkah yang diberikan oleh suami selama masa iddah adalah makanan, minuman, tempat tinggal, uang atau lainnya. Dalam hal ini perlu ditegaskan bentuk pemberian nafkah pada istri adalah kebutuhan material, bukan kebutuhan bathiniah (termasuk sex dan lainnya). Bentuk dan besarnya pemberian nafkah tersebut pada dasarnya tidak ditegaskan secara jelas, akan tetapi hanya secara umum. Dalam pemberian bentuk dan besarnya nafkah lebih ditentukan atas dasar kemampuan pihak suami. Hal ini ditegaskan dalam al-Quran yang berbunyi:
Artinya:     "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya".[16]
     

Dengan demikian mengenai besarnya tidak ditentukan, akan tetapi tergantung pada kemampuan suami. Adapun jika suami mampu maka nafkah yang diberikan adalah nafkah tempat tinggal, makanan, minuman dan pakaian serta berbagai kebutuhan wanita lainnya yang sifatnya mendasar. Hal ini di tegaskan dalam hadist Rasulullah saw. sebagai berikut:
ﻋﻦﻋﺎﻋﺸﺔﺭﺿﻰﺍﷲﻋﻨﻬﻣﺎ۰۰۰ﻓﻘﺎﻝﺭﺳﻮﻝﺍﷲﺻﻠﻢﺧﺬﻯﻣﻦﻣﺎﻠﻪﻳﺎﺍﻠﻣﻌﺮ ﻑﻣﺎﻳﻜﻔﻳﻚﻭﻣﺎﻳﻜﻔﻰﺑﻨﻳﻚ﴿ﻣﺘﻔﻖﻋﻠﻳﻪ﴾
Artinya:     "Ambillah dengan patut secukupnya, baik bagi dirimu maupun anakmu".[17]
Bagi suami yang mampu hendaknya memberikan nafkah yang lengkap bagi istrinya, termasuk makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan wanita lainnya. Adapun mutu dari kebutuhan di atas hendaknya sesuai dengan mutu atau kualitas yang dinikmati oleh suami pada saat tersebut. Apabila makanan empat sehat lima sempurna yang dimakan oleh suami setiap hari, hendaknya istri juga diberikan biaya untuk makan seharga makanan tersebut. Sedangkan bagi suami yang tidak mampu dan dalam hidup setiap harinya berada pada taraf pendapatan minimum untuk hidup, maka berikanlah pada istri sesuai dengan pendapatannya, yaitu biaya sebesar biaya minimum untuk hidupnya. Adapun dalam perceraian terkadang istri yang membawa anak-anak, maka biaya hidup yang diberikan adalah sebesar biaya hidup untuk istri dan anak-anaknya pula.


[1]Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) (Yogyakarta: Liberty, 1986), h. 356
[2] Al-Hamdani, . Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam. Pustaka Armani, Jakarta 1989, h. 299
.
[3] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Attahiriyah, Jakarta, 1976), h. 414
[4] Ibid, 415
[5] QS. Ath-Thalaaq (65): 4
[6] QS. Al-Baqarah  (2):234.
[7] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam…, h. 416.
[8] QS. Al-Baqarah (2): 228
[9] QS. Ath-Thalaaq (65): 4.
[10] QS. Al-Ahzab (33) : 49
[11] Soemiyati, Hukum Perkawinan..., h. 89.
[12] QS. Ath-Thalaaq  (65):7.
[13] Al Hamdani, Risalah Nikah..., h. 303
[14] Muhammad jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Basri Press, Jakarta, 1994), h. 401-402.
[15] Ibid., h. 403-404
[16] QS. Ath-Thalaaq (56) :  7
[17] Anshori,  terjemah Tafsir Al-Maraghi,  (Toha Putra, Semarang, 1995), h. 464.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar